Ads 468x60px

Featured Posts

Selasa, 16 April 2013

Benarkah Siswa Belajar ketika Guru Mengajar??



Saya dan sebagaian kita yang berprofesi sebagai guru setiap hari keluar masuk kelas untuk mengajar. Pertanyaan besarnya adalah apakah siswa yang kita ajar benar-benar belajar ketika kita mengajar?

Pasti kita sepakat jawabanya pasti TIDAK. Mengapa?
Dalam benak kita pasti ada seribu jawaban untuk pertanyaan tersebut. Namun, saya mohon ijin untuk sedikit berbagi rumus untuk menjawabnya.

Dalam sebuah kelas tentu akan terdapat banyak jenis dan karakter siswa. Dari yang pendiam, pemalu, pengacau, pengganggu dan lain sabagainya. Dari situ kita bisa mengobservasi cara belajar masing siswa, ada yang mudah belajar dengan penyajian gambar, suara, gerak, game, tantangan, diskusi, debat, praktik langsung maupun berbagai cara lain.


Setelah mengetahui cara belajar siswa, kita bisa menyesuaikan cara mengajar kita. Karena rumusnya adalah cara mengajar guru harus sama dengan cara belajar siswa. Bagaimana mungkin siswa dapat melaksanakan proses belajar sedangkan cara mengajar guru jauh panggang dari api.

Seperti yang terjadi di kelas kebanyakan sekolah-sekolah kita? Tak perlu dipungkiri masih banyak guru yang memaksakan diri untuk mengajar menggunakan metode caramah untuk seluruh jenis dan karakter siswanya. Akibatnya banyak siswa yang tidak cocok dengan metode tersebut menjadi tidak belajar. Ada yang melampisakannya dengan mengobrol, mengganngu temannya, melamun atau bahkan mengantuk.

Hal yang sebenarnya tak perlu terjadi apabila guru mencoba "bermigrasi" dari alam ceramah ke alam yang lebih menyenangkan dengan berbagai metode dan strategi pembelajaran yang fariatif. Bahkan akan lebih baik bila guru bisa mengakomodir kecenderungan cara belajar siswa dengan metode-metode dan strategi mengajar guru.

Ini sudah kami praktikkan di Sekolah kami. Seluruh guru telah "bermigrasi" ke pembelajaran yang yang menyenangkan dengan fariasi strategi dan meminimalisir pembelajaran dengan ceramah. Hasilnya, sangat luar biasa. Para siswa menantikan pembelajaran-pembelajaran berikutnya dengan sangat antusias. Dan yang paling penting mereka benar-benar belajar.

Sudahkan siswa kita belajar ketika kita mengajar?

Bukankah sekolah adalah tempat belajar? Benarkah?

by. Hadidinina

Rabu, 10 April 2013

Ujian Nasional : Antara Evaluasi dan Gengsi

Beberapa tahun yang lalu saya "menggenjot" murid saya dengan sangat ketat agar siap menghadapi Ujian Nasional. Mulai dari jam tambahan mata pelajaran Ujian Nasional, latihan mengerjakan soal (Try Out UN) berkali-kali, memberikan tips dan trik mengerjakan soal dengan cara cepat, mudah dan benar, kunjungan ke rumah murid, mengikuti bedah kisi-kisi berulang-ulang, Bimbingan Teknis guru mata pelajaran Ujian Nasional, sampai do'a bersama menjelang Ujian Nasional.

Dan itu dilakukan oleh seluruh sekolah-sekolah lain pada umumnya. Tujuannya mungkin sama, ingin mengantarkan murid-muridnya lulus dan mencapai nilai yang maksimal. Tak perlu saya pungkiri semua itu juga dilakukan karena ada ketakutan bila sekolah saya menduduki peringkat bawah dalam perangkingan Ujian Nasional baik tingkat Kecamatan maupun Kabupaten oleh pihak berwenang. Saya yakin ini juga dirasakan oleh guru di sekolah manapun.

Buktinya, saat yang paling mendebarkan bagi saya adalah saat pengumuman dan pembagian nilai Ujian Nasional. Dan yang menjadi perhatian penting saya dan guru pada umumnya adalah kelulusan murid dan peringkat sekolah.

Satu kata, gengsi. Itu yang saya rasakan. Bila mau jujur, banyak guru yang "memaksa" anak didiknya untuk melakukan ini dan itu dalam rangka "mensukseskan gengsi" gurunya. Dan kepala sekolah "menekan" wali kelas VI atau guru mata pelajaran Ujian Nasional untuk "bekerja" lebih giat guna "mendongkrak" peringkat sekolahnya. Bahkan pihak-pihak terkait juga melakukan hal yang sama untuk mengejar "prestasi semu" perangkingan Ujian Nasional antar kecamatan, antar kabupaten dah bahkan antar provinsi.

Anggapan saya waktu itu sangat sederhana. Ya, dengan peringkat Ujian Nasional yang tinggi menandakan bahwa mutu pendidikan di sekolah, kecamatan, kabupaten bahkan provinsi saya akan tinggi pula. Benarkah demikian?.

Ternyata tidak. Perangkingan Ujian Nasional tidak serta merta dapat menghukumi mutu pendidikan (baca: pembelajaran) di sebuah sekolah, kecamatan, kabupaten atau di provinsi tertentu baik atau buruk. Belum lagi pelaksanaan Ujian Nasional yang jauh dari kata sempurna. Dan sampai saat ini belum ada yang berani menjamin bahwa anak didiknya benar-benar melaksanakan Ujian Nasional dengan jujur dan fear.

Bila Ujian Nasional adalah alat untuk menghukumi mutu pendidikan. Maka tak ada bedanya mutu sekolah dengan fasilitas lengkap dan sekolah dengan fasilitas pas-pasan karena hasil ujiannya tak jauh beda.



Menurut saya Ujian Nasional lebih tepatnya hanya sebuah alat evaluasi pendidikan yang seharusnya berfungsi untuk memetakan mutu pendidikan di setiap daerah. Untuk selanjutnya dilakukan tindak lanjut untuk program-program pembenahan dan perbaikan. Lebih jauh lagi bukan alat untuk menghukumi murid sebagai anak "bodoh" atau "pintar" dengan kata yang lebih halus "lulus" dan "tidak lulus". Apalagi untuk mengukur mutu pendidikan di sebuah sekolah atau daerah tertentu. hanya dengan indikator dari mata pelajaran tertentu, naif memang.

Bila kita terus terjerumus dalam "lingkaran gengsi" UN, akhirnya kita disibukkan dengan hal-hal yang berkaitan dengan Ujian Nasional, menyiapkan ini itu demi meraih prestasi semu. Melupakan fungsi UN yang sebenarnya adalah sebuah evaluasi. Layaknya evaluasi, tindak lanjutnya bukanlah kebanggaan atas sebuah prestasi, namun pembenahan dan perbaikan disana-sini.

Saya sepakat semua hal akan diakhiri dengan sebuah evaluasi, termasuk pendidikan. Namun menurut saya kurang tepat apabila fungsi evaluasi menjadi ajang beradu gengsi yang apalagi menghalalkan segala cara untuk mencapainya. Hanya karena kita masih menganggap hasil evaluasi adalah sebuah prestasi bukan bahan instrospeksi diri.

Semoga anggapan saya salah. Amin.

by. Hadidinina

Mendekatkan Siswa Pada Realita Kehidupan

Sebut saja bu Ani ibu dari 5 anak yang saya temui dan berdiskusi tentang pendidikan di Indonesia. Salah satunya anaknya kelas 6 tingkat SD di Kabupaten P********* (censored by.SEC) yang katanya sekolah "NEGERI FAVORIT".

beliau mengeluhkan " saya kecewa dengan salah satu guru kelas 6 di ....tit(sensor)..... masak anak saya nilai Ujian 96 masih di banding-bandingkan dengan anak lain yang nilai 100, anak saya jadi minder"

saya penasaran " dibandingkanya dimana bu?"

bu ani menambahi " di kelas di depan teman-teman yang lain, kata gurunya masak kalah sama anak .....tit(sensor) yang kemarin Try Out rangkking 30? kamu kan Try Out kemarin rangking 1. Yang saya bikin marah guru kok ga' punya otak masak manusia harus sama semua kaya' ROBOT, gurunyapun saya yakin kalau mengerjakan soal tidak mungkin semua pelajaran dapat nilai 100, saya juga curiga kok aneh satu kelas nilainya hampir sama semua? saya justru curiga dengan sekolah tersebut, apakah nilai rata-rata kelas yang bagus di dapat dengan menjunjung tinggi nilai kejujuran. Saya dulu menyekolahkan anak saya di sekolahan tersebut karena sekolahnya di anggap favorit di tingkat kecamatan/kabupaten, bahkan ketika masuk ada tes hitung dan baca dengan baca koran, yang tidak lulus tes baca dan hitung bisa diterima dengan sarat harus beli kursi. Saya baru tau kemarin saya baca koran sindo http://www.koran-sindo.com/node/306334 bahwa dilarang mengadakan tes masuk tingkat SD "

saya : " anak ke 4 yang masih TK B mau di sekolahkan dimana bu?"

bu ani : " saya trauma dengan menyekolahkan di .....tit(sensor)...... sekolahan kok ga' manusiawi."

renunganku.......

ketika kejujuran digadaikan dengan nilai ujian di atas kertas, maka yang terjadi adalah kenistaan atas kejujuran itu sendiri.

ketika Ujian yang seyogyanya untuk EVALUASI berubah hanya GENGSI, apa yang akan terjadi bangsa ini.

ketika ibu2 menyekolahkan anaknya bertujuan agar anaknya pintar, tetapi langsung di cap bodoh oleh sekolah yang didambanya dan tidak diterima, maka yang terjadi sekolah "favorit" lah yang mengkerdilkan penerus bangsa ini.

harapkanku..........

semoga di indonesia banyak lahir Sekolahnya Manusia. yang banyak memberikan pembelajaran yang mendekatkan siswanya dengan realita kehidupan.

http://hadidininakranji.blogspot.com/2013/03/sekolahnya-manusia.html

http://hadidininakranji.blogspot.com/2013/03/mendekatkan-siswa-dengan-realita.html
 
by. M. Niamil Hida.
Shared by. Smart Education Centre. 

Jumat, 05 April 2013

About SEC

Alhamdulillah telah terbit blog Smart Education Centre " care about education of children".
Adalah sebuah Event Organizer yang bergerak di bidang pendidikan yang bertempat di Kranji Kelurahan Kedungwuni Timur Kecamatan Kedungwuni Kabupaten Pekalongan.

SEC hadir di tengah-tengah masyarakat untuk membantu masyarakat khususnya masyarakat usia sekolah dan masyarakat luas pada umumnya mengetahui kecerdasan alami yang dimiliki, sehingga mampu mengembangkan bakat atau potensi yang dimiliki dengan gaya belajar yang dirasa asyik menurut diri pribadi.

Seperti di ketahui sebelumnya bahwa Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa menganugerahi manusia dibumi dengan kecerdasan yang tidak sama satu sama lainnya.
Menurut Teori yang dikembangkan oleh Howard Gardner, dari Harvard University, menyebutkan bahwa kecerdasan dapat dilihat dari 9 macam. Seringkali kita hanya menilai kecerdasan dari satu macam saja.

Lebih lanjut dinyatakan bahwa 9 kecerdasan tersebut ada pada diri setiap orang tetapi dengan tingkat yang berbeda-beda. Hal ini menunjukkan bahwa setiap individu memiliki cara unik untuk menyerap dan mengaktualisasikan informasi dan pengetahuan. 

Guru, pendidik dan orang tua seharusnya mampu mengenali kecerdasan anak sesuai tipe-nya sehingga dapat memberikan motivasi dan arahan yang tepat agar anak dapat mengembangkan diri sesuai kecerdasan yang dimilikinya.

Smart Education Centre.