Beberapa tahun yang lalu saya "menggenjot" murid saya dengan
sangat ketat agar siap menghadapi Ujian Nasional. Mulai dari jam
tambahan mata pelajaran Ujian Nasional, latihan mengerjakan soal (Try
Out UN) berkali-kali, memberikan tips dan trik mengerjakan soal dengan
cara cepat, mudah dan benar, kunjungan ke rumah murid, mengikuti bedah
kisi-kisi berulang-ulang, Bimbingan Teknis guru mata pelajaran Ujian
Nasional, sampai do'a bersama menjelang Ujian Nasional.
Dan itu dilakukan oleh seluruh sekolah-sekolah lain pada umumnya.
Tujuannya mungkin sama, ingin mengantarkan murid-muridnya lulus dan
mencapai nilai yang maksimal. Tak perlu saya pungkiri semua itu juga
dilakukan karena ada ketakutan bila sekolah saya menduduki peringkat
bawah dalam perangkingan Ujian Nasional baik tingkat Kecamatan maupun
Kabupaten oleh pihak berwenang. Saya yakin ini juga dirasakan oleh guru
di sekolah manapun.
Buktinya, saat yang paling mendebarkan bagi saya adalah saat pengumuman
dan pembagian nilai Ujian Nasional. Dan yang menjadi perhatian penting
saya dan guru pada umumnya adalah kelulusan murid dan peringkat sekolah.
Satu kata, gengsi. Itu yang saya rasakan. Bila mau jujur, banyak guru yang "memaksa" anak didiknya untuk melakukan ini dan itu dalam rangka "mensukseskan gengsi" gurunya. Dan kepala sekolah "menekan" wali kelas VI atau guru mata pelajaran Ujian Nasional untuk "bekerja" lebih giat guna "mendongkrak" peringkat sekolahnya. Bahkan pihak-pihak terkait juga melakukan hal yang sama untuk mengejar "prestasi semu" perangkingan Ujian Nasional antar kecamatan, antar kabupaten dah bahkan antar provinsi.
Anggapan saya waktu itu sangat sederhana. Ya, dengan peringkat Ujian
Nasional yang tinggi menandakan bahwa mutu pendidikan di sekolah,
kecamatan, kabupaten bahkan provinsi saya akan tinggi pula. Benarkah
demikian?.
Ternyata tidak. Perangkingan Ujian Nasional tidak serta merta dapat
menghukumi mutu pendidikan (baca: pembelajaran) di sebuah sekolah,
kecamatan, kabupaten atau di provinsi tertentu baik atau buruk. Belum
lagi pelaksanaan Ujian Nasional yang jauh dari kata sempurna.
Dan sampai saat ini belum ada yang berani menjamin bahwa anak didiknya
benar-benar melaksanakan Ujian Nasional dengan jujur dan fear.
Bila Ujian Nasional adalah alat untuk menghukumi mutu pendidikan. Maka
tak ada bedanya mutu sekolah dengan fasilitas lengkap dan sekolah dengan
fasilitas pas-pasan karena hasil ujiannya tak jauh beda.
Menurut saya Ujian Nasional lebih tepatnya hanya sebuah alat evaluasi
pendidikan yang seharusnya berfungsi untuk memetakan mutu pendidikan di
setiap daerah. Untuk selanjutnya dilakukan tindak lanjut untuk
program-program pembenahan dan perbaikan. Lebih jauh lagi bukan alat
untuk menghukumi murid sebagai anak "bodoh" atau "pintar" dengan kata yang lebih halus "lulus" dan "tidak lulus".
Apalagi untuk mengukur mutu pendidikan di sebuah sekolah atau daerah
tertentu. hanya dengan indikator dari mata pelajaran tertentu, naif
memang.
Bila kita terus terjerumus dalam "lingkaran gengsi" UN, akhirnya
kita disibukkan dengan hal-hal yang berkaitan dengan Ujian Nasional,
menyiapkan ini itu demi meraih prestasi semu. Melupakan fungsi UN yang
sebenarnya adalah sebuah evaluasi. Layaknya evaluasi, tindak lanjutnya
bukanlah kebanggaan atas sebuah prestasi, namun pembenahan dan perbaikan
disana-sini.
Saya sepakat semua hal akan diakhiri dengan sebuah evaluasi, termasuk
pendidikan. Namun menurut saya kurang tepat apabila fungsi evaluasi
menjadi ajang beradu gengsi yang apalagi menghalalkan segala cara untuk
mencapainya. Hanya karena kita masih menganggap hasil evaluasi adalah
sebuah prestasi bukan bahan instrospeksi diri.
Semoga anggapan saya salah. Amin.
by. Hadidinina
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar